Aku, Teman Untukku Sendiri



Teman ada banyak sekali jenisnya, mulai dari yang menyebalkan sampai yang baiknya tidak ketulungan. Jika dikalkulasi aku punya semuanya, dan dari semua jenis teman yang kupunya, aku adalah teman yang paling menyebalkan untuk diriku sendiri. Sempat berfikir, bagaimana bisa aku hidup dengan diriku selama berpuluh tahun ini? konyol memang.

Banyak sekali hal memalukan yang terjadi karena ulahku sendiri, kebanyakan pengalaman memalukan itu otomatis terhapus oleh memoriku--sepertinya dia sudah tau cara menolong diri sendiri.

Sekali waktu aku pernah tercebur di tambak depan rumah, kejadian itu sangat memalukan. Aku sebenarnya jarang mengingatnya meskipun tidak sama sekali lupa, tapi baru kemarin sore memori itu kembali, ketika aku duduk santai di kursi teras rumah.

Sekitar 12 tahun yang lalu, di depan rumahku ada pohon-pohon besar jenis Trembesi yang berderet tumbuh di pinggiran tambak. Pohon itu memang sengaja ditanam disana, mungkin si penanam berniat agar jalanan lebih rindang karena dulu kanan-kiri jalan tidak ada rumah penduduk, hanya tanah kosong bersemak belukar yang diseberangnya terdapat tambak yang cukup besar. Pohon yang ditanam itu tumbuh cukup besar, aku dan teman-temanku menyebutnya pohon Meh. Pohon Meh tumbuh di sepanjang jalan berseberangan dengan rumahku, posisinya agak condong ke tambak, sangaaat rindang, meskipun langit mendung atau panas, jalanan akan selalu tertutupi bayangan besar pohon, membuat nyaman pejalan kaki dan kendaraan yang melintas.

Sekarang, pohon-pohon itu sudah ditebang habis, aku masih ingat ketika Umik bilang "mbak, wit meh ngarep omah ape ditegor kabeh, dijual kanggo nambahi bangun masjid kampung, masjid e kape direnovasi" waktu Umik bilang seperti itu, aku diam sejenak dan berfikir menenangkan dalam hati "halah gak mungkin, wong masjid e sek apik, lapo direnovasi" tapi kalimat yang keluar dari mulutku malah "loh mosok seh mik, lak panas terusan" hati dan mulut memang tidak selalu sinkron.

Tak usah dibayangkan bagaimana jalan depan rumahku sekarang, panas sekali. Jika dibandingkan dengan yang dulu, ah kalau mengingatnya ingin sekali aku kembali ke masa lalu--tapi tidak untuk kembali mengulang hal-hal yang memalukan. Aku masih ingat bagaimana girangku mengumpulkan bunga pohon Trembesi yang bentuk dan warnanya bisa secantik itu (warna pink dan putih tanpa mahota yang penuh dengan benang sari), juga mengumpulkan buahnya yang berbentuk buncis bengkak berwarna hitam, sesekali aku dan teman-temanku mencicipi rasanya, buncis bengkak hitam itu seperti buah asam, namun warnanya lebih gelap dan rasanya lebih aneh.

Rumahku berada di depan kampung, maksudku jauh dari rumah-rumah tetangga yang berdempet. bahkan sekarang lengkap sudah status rumahku yang tidak jelas posisinya, karena beberapa bulan yang lalu otoritas kampung membangun gardu penanda batas kampung yang posisinya sekitar 30 meter setelah rumahku, ada 3 rumah di depan gardu, kasian memang.

Masa kanak-kanakku terlalu banyak kuisi dengan bermain, dan juga memikirkan apa yang bisa kulakukan besok untuk bermain.

Aku selalu merasa kalau tubuhku sangat ringan, sampai-sampai jika berari dan melompat kesana kemari, rasanya tidak sama sekali mengurangi energiku, bahkan rasanya semakin bersemangat. Waktu itu entah kenapa aku punya ide yang sangat brilliant, membuat rumah pohon.

Jaman aku kelas 5 SD, sinetron Heart Series yang dibintangi Esa Sigit, Irshadi bagas, dan Yuki Kato sedang meroket, kalau kalian seusiaku pasti ingat lagu soundtrack yang dibawakan Acha Septriasa dan Irwansyah di sinetron tersebut (tentu jika kalian gemar menonton tv sepertiku).

Mungkin karena obsesi dari salah satu adegan yang menunjukkan rumah pohon, aku jadi ingin punya satu rumah pohon--setidaknya yang dipasangi kayu berbentuk tangga di batangnya.

Aku tahu tempat yang menjual kayu berbagai jenis dan bentuk--karena waktu itu aku membeli tongkat pramuka sendiri, jadi tahu dimana tempat menjual bermacam jenis kayu. Mulailah aku dan beberapa teman laki-laki yang salah satunya adalah sepupuku mas Aldi patungan untuk membeli beberapa kayu seukuran lengan orang dewasa, untuk urusan paku dan palu aku bisa mengambil perkakas milik Abi.

Aku tak ingat pasti kapan tepatnya kami mulai memasang tangga yang dipaku di batang pohon Trembesi depan rumahku itu. Seingatku waktu itu musim panas tapi sesekali turun hujan.

Ah aku masih ingat dengan jelas, bagaimana pemandangan yang terlihat di atas pohon, juga angin  yang menghempas rambutku sesekali.

Sudah hampir seminggu aku suka bermain di pohon itu, karena lokasinya dekat rumah, tiap siang sepulang sekolah atau sepulang les kusempatkan memanjat pohon, duduk di salah satu batangnya sambil menikmati angin, tentunya sendirian. Sesekali aku membawa camilan, jajan, buah, atau apapun yang bisa kumakan disana--yang penting bukan piring berisi nasi.

Abi berkali-kali memperingatiku untuk berhati-hati, bahkan sempat mengancam untuk melepas tangga kayu jika saja aku dan mas Aldi jatuh dari sana.

Tentu saja aku mengiyakan, dengan memasang muka sebal aku menjawab, "iyo kok ah, gak mungkin tibo aku" arogan sekali.

Tibalah inti dari kisah ini.

Pagi itu sekolah libur, entah karena hari minggu atau tanggal merah. Kebetulan pagi itu tepat 7 hari kelahiran sepupku sebelah rumah. Jadi, di halaman teras sepupuku, orang-orang kampung berkumpul untuk bekerjasama memotong dan membagikan daging kambing, aqiqoh si bayi.

Aku dan teman-teman tidak ikut repot membantu mereka, asyik dengan rumah pohonku. Hari itu ramai sekali anak-anak mampir di depan rumahku, ada yang sekedar melihat orang-orang yang memotong-memilah daging kambing, dan ada juga yang tertarik mendekati rumah pohonku.

Waktu itu aku punya ide gila lain; bersantai sambil memancing dari atas pohon. Seingatku pancing yang kugunakan bukan milikku, aku tidak pernah punya pancing, tapi milik mas Aldi, sepupu sepantaranku.

"Mas duwe pancing ta?"

"Duwe dek, lapo?"

"Jipiken yo, ayo mancing nak tambak iki, mancing teko duwur wit koyoe seneng"

"Oke"

Pancing siap, umpan cacing pun sudah dicari. Saatnya memancing. Aku dan mas Aldi memanjat tangga tak beraturan yang kami buat, orang-orang di halaman mulai melihat kami heran, karena memanjat sambil membawa pancing. Abi dan Pakdhe mengacungkan pisau besar yang dipegangnya.

"Hayo aneh-aneh, mancing nak tambake uwong, nah gak mudun" Abi menegur kami dengan sedikit meninggikan suara.


"Awas atek tiboh, tak bongkar tanggae" Pakdhe tak mau kalah menyahuti.

Pakdhe sebenarnya bukan hanya meneriakiku, tapi juga mas Aldi, anak bungsunya.

Aku dan mas Aldi tak menanggapi, melanjutkan apa yang kami rencanakan, aku membawa pancing, sedang mas Aldi membawa wadah berisi cacing dan tanah.

Di atas pohon, aku duduk di posisi ternyaman dengan masing-masng kaki bertumpu pada dua batang berbeda, sehingga aku bisa leluasa melempar mata pancing. Pinggiran tambak memang selalu penuh dengan ranting pohon Meh, bunga, serta buah berbentuk buncis bengkak hitam yang berjatuhan, juga ganggang tambak, lumut dan lumpur. Sesekali, mata pancing tersangkut ranting yang setengah mengambang.


Lama kami memancing, tak kunjung dapat ikan--jelaslah mana ada ikan yang berenang di pinggiran tambak yang penuh dengan ranting dan ganggang.

Entah sudah lemparan mata pancing yang keberapa kalinya, Adit temanku yang nakalnya amit-amit memperlambat laju sepedanya, tertarik melihat banyak teman yang berebut naik ke rumah pohon. Aku tidak sengaja melihat datangnya Adit, karena aku menghadap ke tambak, otomatis posisiku membelakangi jalan, aku harus menoleh kebelakang siapa saja yang ada di bawah pohon yang sedang mengantri.

Tepat ketika Adit berhenti dan menjagang sepedanya, aku refleks menoleh ke arah mas Aldi sambil bilang "mas, Adit ojok oleh munggaaah!" dan sepersekian detik setelah kalimat itu keluar dari mulutku, aku kehilangan keseimbangan, salah satu kakiku salah memijak pada ranting yang lain, seketika tubuh ringanku jatuh ke pinggir tambak.

BYUUUUUUR

Kejadian itu sangat cepat, aku seperti mesin otomatis yang tanpa menunggu komando langsung keluar dari air, berlari ke dalam rumah sambil menangis. Kakiku penuh lumpur, badanku penuh lumut serta ganggang di sela-sela rambutku. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju kamar mandi, langsung mengunci diri, duduk menempel di belakang pintu sambil menangis.

Tanpa menunggu lima detik, abi sudah menyusulku, lengkap masih membawa pisau besar di tangannya, mendobrak pintu yang kukunci slot dari dalam, sekali ketukan juga sekali dobrakan pintupun terbuka. Abi memarahiku habis-habisan. Sampai-sampai yang kuingat hanya cukup sampai kejadian di kamar mandi, kalimat apa saja yang diucapkan Abi ketika memarahikupun aku tak ingat samasekali.

Otakku otomatis menghapus kenangan buruk itu, namun untuk kejadian sebelum tubuh ringan itu jatuh ke tambak, masih sangat rapi tersimpan di salah satu laci penyimpanan yang ada di otakku. Sial sekali.

Ada banyak sekali pasang mata yang melihat langsung kejadian itu. Satu hal yang kutangiskan bukan karena sakit akibat jatuh ke air berlumpur, penuh lumut, ganggang serta ranting kayu dan juga yuyu, hewan berbentuk mirip kepiting itu ternyata banyak sekali di pinggiran tambak, membentuk rumah berbentuk lubang seperti sumur kecil. Yang kutangiskan adalah setelah ini tidak akan ada kata rumah pohon lagi, pasti tangganya sudah dicopoti pakdhe.

Benar sekali, di hari yang sama setelah kejadian naas itu, ketika aku sudah bersih selepas mandi dan bangun tidur--karena terlalu banyak menangis, aku keluar rumah, mengecek rumah pohonku yang ternyata kayu yang kujadikan sebagai tangga sudah dibongkar.

Yang paling kubenci selepas kejadian itu adalah: kenapa orang dewasa selalu benar??.

Dan kenapa aku ini aku? Bisa kalian bayangkan, jika kalian menjadi aku, jatuh ke tambak dengan puluhan saksi mata yang melihat kronologi cerita dari awal. Pasti sangat malu!

Dan inilah aku, yang setelah kejadian itu ternyata masih melakukan banyak kisah memalukan lainnya. Si keras kepala, sok tau dan menyebalkan ini masih ada dalam diriku.

Oh Aku, baik-baiklah pada dirimu sendiri, kasihan.

Selama ini dia cukup bertahan dan akan selalu bertahan.


Komentar

Postingan Populer