2020, A JOURNEY
Tahun ini dari awal sudah dimulai dengan berbagai hal menarik. Untukku sendiri, dengan merasakan pergantian tahun di kota kecil perabatasan, menuntaskan kewajiban sekaligus pengenalan pengalaman menjadi guru yang super hectic di negara orang, mengenal toleransi secara langsung, berusaha menerima dan bertumbuh menjadi pribadi dewasa yang bertanggungjawab dengan konsekuensi dari pilihan yang kuambil.
Mengalami kondisi dunia yang sedang tidak baik-baik saja, menjalani proses skripsi, dan belajar jadi pribadi baik dan menyenangkan
Banyak yang kupelajadi di tahun ini, mengenal banyak orang baik, menjalani waktu bersama orang yang menyenangkan.
****
Setelah menceritakan tetang skripsiku di postingan beberapa bulan lalu, now im back gaiss, di penghujung November.
24 November kemarin aku baru saja mengikuti prosesi wisuda, secara langsung namun dengan protokol kesehatan yang lumayan ketat, selama prosesi wisudawan diwajibkan untuk mengenakan masker dan face shield. Hampir duajam, mukaku yang sudah susah payah dirias temanku ditutup sedemikian rupa, hasilnya waktu selesai prosesi, fondie dan bedak crack semuka, kalau dilihat dari dekat, mukaku seperti kena radiasi alien, ditambah ada drama waktu berangkat ke tempat wisuda yang tiba-tiba saja turun hujan--nanti kuceritakan.
Sekarang aku duduk di kamar kosku, mendengarkan lagu-lagu day6, sambil mengetik ini dengan suasana kos hari minggu sore yang cukup sepi, aku kemudian mengingat-ingat kembali, kilas balik rangkaian peristiwa yang sudah terjadi beberapa bulan kebelakang.
Pertengahan April waktu menulis ini progress sripsiku belum sempurna selesai, masih banyak perubahan dan tambahan juga beberapa yang harus dipangkas. Barulah minggu pertama Agustus skripsiku siap maju untuk diujikan. Tinggal menunggu jadwal ujian.
Dari April ke Agustus, selama pandemi dengan mengerjakan skripsi yang kalau berusaha kuingat-ingat rasanya seperti kilat, splash terjadi begitu saja. Padahal kalau otakku bisa mengingat dengan detil semua peristiwa yang terjadi, sulit untuk bisa kuceritakan disini.
Mulai dari mengerjakan skripsi sendirian dirumah, lalu tinggal beberapa hari di kos Firdaus, dengan semua penghuni pulang karena pandemi, menumpang tinggal di kos teman, kemudian pindah dari kos Firdaus ke kontrakan temanku Kissmi, mahasiswa Thailand yang juga seprodi denganku. Lalu fokus mengerjakan skripsi di tempat Kissmi. Disana, tersisa 2 orang yang tinggal, 6 orang lain sudah duluan pulang ke Thailand, escaping dari pandemi covid di Surabaya yang makin hari makin parah saja.
Kissmi memilih bertahan, dia pantang pulang sebelum skripsinya selesai. Satu teman lain yang juga sedang mengerjakan skripsi memilih pulang. Di rumah Jojoran Perintis Dalam No 16 tersebut aku dan Kissmi kemudian mengerjakan Skripsi bersama, rumah itu menyisakan Kissmi dan kakak senior yang sedang kuliah magister di Unair. Setelah aku pindah untuk tinggal di kontrakan tersebut, kami bertiga sering berbagi keluh kesah bersama, senang, sedih bahkan kesal dibagi bersama.
Kakak yang kubicarakan tadi namanya Kak Ha, mahasiswa akhir Farmasi S2 Unair. Kak Ha juga sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tesis, sama seperti aku dan Kissmi, kami sefrekuensi. Pernah sekali Kak Ha dimarahi habis-habisan oleh dospim satu, ada kesalahfahaman. Setelah puas menangis, Kak Ha kemudian bercerita kepada kami, kami sering menghabiskan waktu di balkon lantai dua, sambil membawa laptop masing-masing, menggelar tikar kami mengerjakan tugas akhir sambil guyon dan mengobrol banyak hal. Ah rindu rasanya kalau kuingat-kuingat lagi.
Kalau tidak ada waktu memasak, kami kerap memesan mie pedas, seperti Mie Gacoan, Kober Mie Setan, Astaganaga, tak jarang juga berbagai menu di layanan aplikasi antar makanan. Kadang pun tinggal memesan via WhatsApp ke ibu tetanga samping rumah. Tanpa keluar rumah, makanan diambil lewat balkon. Selain itu tetangga sebelah kiri rumah juga menjual Bakso, yang sialnya sejak pandemi si bapak jarang berjualan.
Soal makanan tak diragukan lagi, Kak Ha dan Kissmi sama-sama pintar memasak. Tentu saja menu yang mereka masak selalu masakan Thailand, aku karena sudah terbiasa jadi terasa nikmat saja. Menu favoritku ada dua; tomyam dan kra'pau. Kra'pau adalah ayam tumis dengan campuran daun ho ra' pau yang dipetik dari balkon, Kissmi membawa bibitnya langsung dari Thailand. Kemudian menanamnya di balkon rumah, di sana ada puluhan pot yang ditanami berbagai tanaman, sebagian berupa beberapa jenis cabai, tomat, terong dan daun-daunan yang biasa dibuat lalapan masakan Thailand. Ada juga tanaman hias.
Rutinitas di rumah kontrakan tersebut hampir selalu sama setiap hari. Bangun pagi sholat, menyiram tanaman di balkon, membuka laptop untuk sekedar melanjutkan progres skripsi, makan, berberes, ke pasar, memasak, membuka laptop lagi, menjelang magrib duduk dan mengobrol di balkon, lalu dilanjutkan dengan membuka laptop lagi.
Setiap hari tidak terlewat seharipun tanpa mengerjakan skripsi. Karena kebetulan dosen pembimbingku dan Kissmi sama, jadwal bimbingan kami juga sama, hanya berbeda jam.
Dengan kondisi Surabaya yang sedang pada status zona hitam Covid-19, kami hanya menghabiskan waktu di rumah, jika keluar rumah, protokol kesehatan selalu kami terapkan, cuci tangan, tidak asal menyentuh apapun di tempat umum, jaga jarak dan menggunakan hand sanitizer.
Tinggal di rumah tersebut aku bisa menaruh fokus pada skripsiku lebih dari apapun. Memiliki teman untuk diajak mengobrol soal skripsi, juga dengan situasi dan kondisi yang mendukung untuk selalu mengerjakan, meskipun hanya tambahan separagraf ataupun beberapa kalimat saja.
Terlalu nyaman mengerjakan skripsi sampai kami tidak sadar kalau akan selesai. Lalu kemudian tinggal menghitung hari Kissmi pulang ke Thailand.
Karena penerbangan internasional ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan, prosedur pemulangan warga negara asing untuk kembali ke negaranya disesuaikan oleh masing-masing negara pemilik peraturan.
Untuk pemerintah Thailand, mereka menyiapkan pesawat dengan sistem charter, hanya ditumpangi oleh warga negara Thailand yang ingin segera kembali dan yang masa tenggang visa nya sudah hampir habis. Untuk jadwal penerbangan tiap pendaftar dikeluarkan pihak konsulat Thailand di Jakarta.
Kak Ha sudah mendaftar beberapa minggu sebelum akhirnya namanya muncul untuk dijadwalkan terbang ke Bangkok pada tanggal 3 Agustus. Sampai Kak Ha pulang, Kissmi belum juga daftar pulang, karena lama visanya masih berlaku sampai 28 November dan juga ujian skripsi belum dilaksanakan.
Selama belum melaksanakan ujian skripsi, Kissmi tidak akan pulang, dia sudah bertekat dari awal untuk menyelesaikan semua urusan sebelum kembali ke Thailand.
Waktu itu dia dapat kabar kalau penerbangan terakhir ada di minggu terakhir bulan Agustus, sekitar tanggal 20 Agustus. Dengan berat hati, dan juga gak tau mau bagaimana lagi selain daftar pulang, Situasi dan kondisinya mengharuskan untuk daftar pulang. Jika tidak mendaftar, entah kapan lagi ada pesawat ke Thailand, urusan denda visa kalau melewati batas tanggal akan runyam. Memperpanjang lama visa juga buat apa, jika urusan kuliah selesai, Kissmi tidak ada kepentingan lagi untuk tetap tinggal di Indonesia.
Singkat cerita, Kissmi pulang dengan penerbangan terakhir, sebelum pulang dia sempat main ke rumahku, menginap beberapa hari. Ujian skripsi yang kami nantikan baru bisa dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus.
Ujian dilaksanakan via daring melalui zoom meeting. Aku dan beberapa teman melaksanakan ujian di rumah Febri yang juga melaksanakan ujian skripsi. Kissmi terpaksa harus melaksanakan ujian di tempatnya menginap, di tempat isolasi covid-19 yang disediakan pemerintah Thailand.
Kami berdua lulus ujian, and turns out that both of us got A score. Usaha memang tidak pernah menghianati hasil.
Yudisium baru bisa dilaksanakan dua bulan setelah ujian skripsi, dan wisuda pada tanggal 23-26 November dengan prosedur 7 gelombang. Bagi wisudawan yang berhalangan hadir bisa mengikuti prosesi wisuda secara daring.
Dalam selang waktu setelah sidang ujian skripsi sampai wisuda kemarin, adalah waktu quarter life crisis buatku, setelah sebelumnya memiliki kesibukan mengerjakan skripsi, usai urusan skripsi tuntas aku jadi bingung mau apa.
Mahasiswa pengangguran yang tidak punya usaha juga penghasilan ini kemudian mulai mengutuk diri sendiri. Menyesali berderet hal. Memutar otak apa keinginan yang akan kulakukan kedepannya. Sebagai lulusan sarjana pendidikan, pastilah dicetak menjadi seorang pendidik, sudah hitungan jari jumlah mata kuliah pendidikan dan teori-teori pendidikan yang kupelajari. Namun, mengajar bukan passion, keahlian ataupun kegemaranku. Aku tidak pernah tertarik dengan dunia pendidikan, hanya karena bahasa Inggris merupakan kegemaranku, aku bertahan untuk menyelesaikannya. Skripsiku pun jauh dari tema education.
Berpengalaman magang menjadi guru di salah satu sekolah di Thailand pada awal tahun ini, tidak menjadikanku mencintai profesi guru. Aku bilang Abi Umik, izin untuk diberi kebebasan menentukan pekerjaan yang akan kujalani kedepannya. Keputusan Abi bulat, ingin anaknya mengajar atau menumpahkan ilmunya di dunia pendidikan atau Sekolah. Ketika mereka bertanya selain guru apa pekerjaan yang kuingiinkan, kujawab singkat "apapun selain guru".
Bukan jawaban yang bertanggung jawaba memang.
Aku merasa tidak pantas menjadi guru, meskipun tidak ada measurement yang pasti untuk mengukur kepantasan menjadi seorang guru. Terasa berat sekali melakoni profesi tersebut. Dua bulan penuh sudah cukup memberiku pengenalan untuk "menjadi guru". And that was really really hard.
Lalu apa pekerjaan yang kuinginkan? tidak tahu.
Lalu apa yang kamu inginkan dan kamu kejar? tidak tahu juga.
Dua pertanyaan itu menggangguku, sampai setres memikirkannya. Apalagi aku tipe yang mudah khawatir akan apapun. Masa-masa kritis dalam pencarian kedua jawaban itu membuatku tertekan, mungkin dalam rentang waktu itu aku mengidap penyakit kejiwaan, dengan diagnosa pribadi dariku sendiri; setres karena tidak tahu mauku apa.
Meskipun selama pandemi ini aku merasa lebih mengenal diri sendiri dari sebelumnya, tapi rasanya belum seluruhnya. Proses ini kemudian mengajariku, bahwa terkadang tidak apa berjalan tanpa arah dan tujuan, asal kamu bergerak.
Daripada diam, aku kemudian memutuskan untuk melamar di beberapa lowongan. Waktu itu ada lowongan di sebuah primary school berjarak setengah jam perjalanan motor dari rumah, sekolah tersebut membutuhkan guru bahasa Inggris, merasa qualified, akupun mendaftar.
Tanpa diduga 3 hari setelah drop CV dan aplication letter, ada panggilan untuk interview. Pesan wa panggilan tersebut masuk pada pukul 7 malam, dengan jadwal interview tertera pukul 8 pagi keesokan harinya. Waktu itu posisiku sedang ada di Probolinggo, di penginapan karena besok subuh akan ke puncak Bromo. Dengan keadaan kedinginan aku menjawab asal dengan kalimat kurang tepat. Keesokannya kalimat balasan yang sudah kurevisi tersebut diberi tambahan untuk mengajukan pengunduran jadwal interview.
Bisa.
Padahal setelah dari Bromo, aku berencana langsung ke Malang untuk menghadiri wisuda seorang teman, kemudian dilanjutkan untuk main ke pantai. Tapi karena ada panggilan mendadak tersebut, gagal semua rencana itu.
Pengalaman interview kerja pertamaku dengan persiapan pas-pasan tersebut berjalan lancar, kecuali bagian praktik microteaching yang mendadak. Menurut pengalaman temanku, tes microteaching yang pernah dilaluinya dilakukan dengan persiapan RPP dan berbagai silabus yang dibutuhkan dengan petunjuk interview yang diinformasikan jauh-jauh hari. Karena interviewku tidak dideskripsikan akan ada pengujian seperti apa, jadi aku tidak mempersiapkan materi untuk praktik mengajar. Tapi mungkin sudah seharusnya berjalan seperti itu, jadi sudahlah namanya juga pengalaman pertama.
Sampai detik ini, hasil interview itu tak kunjung sampai, kusimpulkan aku gagal.
Minggu-minggu setelahnya, dengan melalui masa setres, aku juga melamar di sebuah perusahaan pendidikan dengan posisi Junior Creativity Mentor, menilik pengalaman interview pertama, kali ini aku mempersiapkan banyak hal; strategi menjawab pertanyaan HRD, cara pengenalan diri, cara berbicara singkat padat dengan maksud jelas, belajar bicara dengan ekspresi meyakinkan, juga mempelajari selak beluk perusahaan.
Selain itu, aku juga asal mendaftar di sebuah sekolah, lagi-lagi primary school. Karena informasi yang kudapat hanya lowongan untuk SD, dan niatku jika terpanggil bakal nambah pengalaman interview. Posisi tersebut dengan kualifikasi guru kelas bahasa Inggris, akupun tertarik meskipun tanpa mengetahui profile sekolah sedikitpun.
Sabtu 7 November aku mendapat panggilan interview di sekolah. Padahal sehari sebelumnya aku sudah merencanakan untuk pergi ke rumah teman, menghadiri wisuda online. Lagi-lagi acara bareng teman harus batal karena panggilan interview mendadak.
Interview tersebut berjalan lancar, aku kebetulan datang pertama, ditemani temanku yang menunggu di parkiran, hampir sejam proses interview dengan full berbahasa inggris itu akhirnya selesai.
Setelah mendapat panggilan dari sekolah, ada panggilan lagi dari perusahaan pendidikan yang kubicarakan sebelumnya.
Sehari setelah deadline pengumpulan lamaran di perusahaan tersebut, aku dapat panggilan interview online, ingat sekali waktu itu hari Selasa 10 November, pukul 9.50 pagi aku baru mengecek pesan WhatsApp, kemudian waktu itu juga baru tau kalau ada undangan interview pukul 10.00. Selama 10 menit panic mode on, menyiapkan laptop juga berganti baju, benar benar tanpa persiapan dan briefing.
Interview tersebut juga berjalan lancar, kecuali tes IQ yang hanya mendapat hasil 83, jauh dibawah rata-rata. Ada beberapa pertanyaan yang kuskip menjjawab sekenanya karena gambar tidak terlihat, terkendala koneksi.
Lalu..
Kamis 12 November, waktu sedang bertamu di rumah seorang teman di Lamongan, ada pesan WhatsApp masuk. Panggilan lolos seleksi interview di primary school. Keesokan harinya pukul 10 aku harus ke sekolah. Aku bukannya senang, malah sedih dan bingung bukan kepalang. Magrib, waktu sampai rumah kabar itu baru kuberitahu ke Umik, Umik terlihat senang sekali, Abi pun begitu, berlainan denganku.
Jumat subuh aku berangkat ke Surabaya. Ternyata pertemuan diundur keesokan harinya. Sabtu 14 November aku bertemu dengan pihak menejemen sekolah, membicarakan perihal kontrak dan hal lain.
Barulah pada Kamis, 4 hari setelah aku teken persetujuan dengan sekolah, hasil interview Junior Creativity Mentor pun keluar, aku lololossssss. Benar-benar diluar ekspektasi, diluar prediksi, woi IQ hanya 83 tapi lolos, jangan-jangan pendaftarnya cuma aku? atau masih ada selesksi lagi setelah jadi pegawai? banyak asumsi tak terkendali keluar dari otakku.
Dengan berat hati, undangan tersebut harus kutolak.
Dan juga dengan berat dan berusaha ikhlas, aku belajar menerima, belajar mengambil keputusan, belajar bertanggungjawab.
Aku akan jadi guru, dengan melepas tawaran yang wah memikirkannya saja sudah campur aduk perasaanku.
**kalau bisa kuceritakan galaunya waktu lolos interview di sekolah, wah mungkin bisa puluhan ribu kata kutulis disini, belajar ikhlas yaaa....
Bismillah, doakan aku bisa!
Komentar
Posting Komentar