Filosofi Kerang Mutiara


Februari ini mood menulisku sedang bagus, padahal sebenarnya kebanyakan melamun.

***

Abiku adalah orang yang jujur, disiplin, pekerja keras, ulet, dan sangat tegas, tapi untuk menggeluti bidang yang sama dalam jangka waktu yang panjang, mustahil dikerjakannya, oh kecuali berdagang--karena memang ini penghasilan utama Abi. Abi menyebutnya sebagai wiraswasta, pekerjaan Nabi Muhammad.

Jika kuceritakan kisah Abi secara menyeluruh, dari mulai kanak-kanak hingga umurnya yang sekarang sudah genap 49 tahun 1 bulan 4 hari, akan terlalu panjang--meskipun menarik dan tidak membosankan.

Kali ini Abi berperan sebagai pencerita.

Kisah Kerang Mutiara.

Suatu waktu hiduplah keluarga kerang di dasar lautan, keluarga ini terdiri dari Ibu dan dua anak kerang yang masih sangat kecil. Kedua saudara kerang ini selalu bersama. Sampai suatu hari, Ibu kerang memutuskan untuk memberi mereka pasir untuk dimakan. Setiap hari, dalam porsi yang sama tanpa ada jeda dan cuti barang sehari-pun untuk tidak memakan pasir.

Saudara tertua sebut saja namanya Beni, dan yang paling muda namanya Riko.

Beni tak pernah mengeluh ketika ibunya menyiapkan pasir untuk dimakan, meski terpaksa dan menangis dia tetap menelan pasir yang diberikan ibunya.

Namun berbeda bagi Riko, dia memutuskan untuk mengahiri penderitaannya setelah menahan sakit, makan pasir selama satu minggu berturut-turut.

"Untuk apa aku makan pasir, sakit dan buang-buang tenaga, mending aku bermain dengan kerang-kerang lain, asyik mengelilingi samudera" protes Riko kepada Beni--yang sebetulnya ia tujukan pada Ibu mereka ketika ibunya menyiapkan dua porsi pasir seperti biasa.

"Ibuu..." Beni mengeluh kepada ibunya.

Ibu kerang hanya diam dan membiarkan Riko meninggalkan mereka, bermain bersama teman-teman kerangnya.

"Kalau Riko sudah menyerah, biar saja, yang penting kamu jangan menyerah ya Beni" ucap Ibu lembut kepada Beni.

Sambil menangis Beni memakan pasir yang sudah disiapkan ibunya.

Jangan kira makan pasir tinggal telan saja, lebih cepat makan batagor ekstra pedas sepiring penuh daripada makan pasir pemberian Ibu kerang. Setiap butiran pasir yang dimakan Beni terasa sakit di tenggorokannya--anggap saja Beni punya tenggorokan. Saking lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menelan pasir-pasir tersebut, Beni kini tak punya waktu bermain, hanya menatap iri Riko dan teman-temannya yang girang usai mengikuti kawanan penyu yang lewat untuk bermigrasi.

Setelah berbulan-bulan, Beni tak tahan, dia akan memutuskan untuk protes dan mogok makan pasir kepada ibunya.

Belum sepatah kata yang dirangkai untuk beralasan kepada ibunya, Ibu kerang sudah terlihat menghampiri Beni, seolah tau kegelisahan yang dirasakan anaknya. Dengan lembut dan penuh tatap harap, Ibu kerang berujar "pasir-pasir yang kau telan selama ini bukan berarti sia-sia Beni".

"Tapi Ibu, kenapa hanya aku? kenapa Riko tidak melanjutkan jadwal makan pasirnya seperti aku? Riko hanya seminggu Ibu, sedangkan aku? sudah lebih kurang 9 bulan" kalimat yang keluar dari mulut Beni terdengar meninggi di ujungnya.

"Hidup kita terlalu singkat Beni, kau tahu berapa lama rata-rata waktu hidup seekor kerang?" jawab Ibu kerang.

"Apa hubungannya urusan umur dengan kesengsaraanku memakan pasir Ibu? Aku bertanya kenapa hanya aku yang kau siksa dengan butiran pasir itu, sakit sekali rasanya di sekujur badanku" teriak Beni sambil menangis, menangis sejadi-jadinya.

"Ibu tau, kau lebih kuat daripada Riko, kau tidak mengeluh barang sekata-pun selama 9 bulan ibu memberimu pasir, tidak bertanya untuk apa kau harus bersusah-susah melakukannya sedangkan saudaramu Riko bebas bermain mengelilingi samudera".

"kau tanya kenapa Ibu hanya melakukannya padamu saja? bukan Riko? Ibu melakukannya pada kedua anak Ibu, kau dan Riko, tapi Riko menyerah setelah 7 hari nak, sedangkan kamu tidak" jawab ibunya.

"Riko bisa bebas karena tidak merasakan sakit sepertiku Ibu, Riko baik-baik saja, bisa bermain ke penjuru laut yang dia mau, sedangkan aku? karena pasir-pasir itu aku terperangkan disini, tubuhku sakit tidak tertahan, aku tak bisa sebebas Riko" Beni mengucapkannya dengan menangis sampai hilang suaranya, seperti menahan sakit dan marah dalam satu waktu.

 "Nak, kelak kau juga akan bisa bebas seperti Riko, bahkan bukan hanya laut saja yang akan kau jelajahi, tempat terjauh yang tidak sempat kau pikirkan mungkin akan kau kunjungi, kau tidak hanya akan terperangkap disini bersama rasa sakit itu. Bersabarlah, kelak ketika datang waktunya, kau akan mengerti" ucap Ibu kerang menenangkan.

Jawaban itu tidak memuaskan Beni. Tapi Beni memutuskan untuk bersabar, melanjutkan jadwal hariannya memakan pasir, butir demi butir pasir semakin lama semakin menggila di sekujur badannya. Sakit luar biasa.

Pagi berganti sore, hari berganti bulan, dan begitu seterusnya.

Sudah terlalu lama Beni hidup dengan pasir yang dimakannya setiap hari, sampai-sampai dia sudah terbiasa dan lupa dengan sakit yang dirasakannya.

Pada suatu pagi yang cerah, datanglah perahu nelayan, disusul dengan jaring besar dan lebar yang menangkap hampir seluruh biota laut yang hidup di sekeliling Beni.

Beni dan Riko pun tak luput dari tangkapan jaring Nelayan. Ikan-ikan panik, sotong-gurita dan teman sejenisnya berlomba menyemprotkan tinta hitam masing-masing, serta semua kerang menutup rapat cangkangnya.

Di atas perahu, para nelayan bergegas memunguti hasil tangkapan. Mereka membedakan tempat pada tiap jenis biota laut yang terjebak di jaring mereka. Untuk ikan yang ukurannya kecil, mereka kembalikan lagi ke laut.

Wadah untuk menampung kerang sejenis Beni-Riko sangat berbeda dengan wadah yang lain. Wadah tersebut berbentuk tabung berdiameter 60 centimeter dengan ukuran tinggi yang sama, permukaannya halus dan bersih. Beni bertemu di wadah yang sama, hanya hitungan jari kerang sejenis dengan mereka yang berhasil tertangkap jaring nelayan.

Belum sempat mereka bercakap-cakap, salah satu nelayan sudah membawa mereka ke dalam badan perahu, di dalam ruangan khusus pada dek perahu, mereka dihadapkan dengan lampu terang serta alat penyungkil cangkang kerang.

Ternyata Riko dan Beni adalah jenis kerang yang masuk familia Pteriidae, kerang yang mampu menghasilkan mutiara. Dalam waktu tertentu, seekor kerang se-familia dengan Beni-Riko dapat menghasilkan mutiara dengan kualitas, ukuran, bentuk, warna, kilau, serta jenis yang berbeda-beda. Hal tersebut tergantung kualitas air serta lingkungan tempat tinggal kerang.

Seorang nelayan yang bertugas membuka cangkang kerang meraih Riko dari wadahnya. Perlahan mencongkel kedua sisi cangkang Riko yang tertutup rapat, si nelayan membuka cangkang secara perlahan, sangat hati-hati. Tak lama cangkang Riko terbuka, kali ini nelayan mengamati lebih dekat isi yang ada di dalam cangkang Riko, kemudian memindahkan Riko di bawah lampu yang sangat terang.

Ternyata apa yang dicari nelayan tidak ada di dalam cangkang Riko, Riko dilemparkan ke tong besar berisi bermacam jenis kerang lain. Tong tersebut selanjutnya akan dikirim ke restoran seafood untuk dijadikan makanan.

Berbeda dengan Beni, ketika nelayan berhasil membuka cangkangnya dan menilik isi yang ada dibalik tubuh Beni, sang nelayan terkesima dengan apa yang ditemukannya. Di dalam cangkang Beni terdapat mutiara dengan berbagai bentuk dan ukuran, ada setidaknya belasan mutiara dengan satu mutiara besar seukuran kelereng, mutiara besar itu berbentuk sempurna lingkaran, putih bersih dan berkilau. Dengan sangat hati-hati, nelayan itu mengambil satu persatu mutiara tersebut dengan bantuan alat penjepit. Kemudian menempatkan mutiara yang paling besar di wadah istimewa, kotak kaca dengan bantalan yang sangat empuk. Selanjutnya jika sampai di dermaga, mutiara-mutiara tersebut akan diambil oleh pengepul mutiara yang kemudian akan diberikan kepada para pengrajin untuk dijadikan perhiasan.

Akhir hidup kedua saudara kerang itu sangatlah berbeda. Beni yang berjuang menahan rasa sakit selama bertahun-tahun menghasilkan mutiara yang jika dijual memiliki nilai yang sangat tinggi, ditempatkan di tempat istimewa dan dirawat oleh pemiliknya sepenuh hati, menjadi perhiasan yang indah berkilau, diajak si pemilik mengunjungi tempat-tempat yang tak pernah dibayangkan Beni sebelumnya.

Lalu bagaimana dengan Riko? Riko yang menyerah tidak mendapatkan seperti hasil dari jerih payah Beni, sebaliknya Riko berakhir di piring saji, sebagai makanan, habis tak bersisa. Sedangkan Beni? meskipun tubuh beni sudah tiada, mutiara-mutiara yang dihasikannya akan selalu ada, membuat semua orang takjub melihatnya.

***

Kisah Beni-Riko adalah kisah yang benar-benar diceritakan Abi kepadaku, namun dengan versi bahasa dan penuturan yang berbeda. Waktu itu Abi menceritakan kisah itu ketika perjalanan pulang dari pondok pesantren (tempatku belajar selama 6 tahun) menuju ke rumah. Sepanjang perjalanan yang kurang lebih memakan waktu satu jam, Abi bercerita sambil memegang kemudi mobil, meskipun gelap, aku masih ingat raut wajah serta ekspresi Abi waktu itu.

"Nah, mbak tahu kan hikmah dari kisah kerang mutiara itu?" Abi bertanya sambil sesekali menoleh ke arahku yang duduk di sampingnya.

"he eh" jawabku, entah kenapa waktu itu aku menangis, untung waktu sudah gelap, membantuku menutupi mata yang sembab karena air mata.

"Orang kalau ingin mencapai kesuksesan, apapun itu, ada banyak yang dikorbankan, usaha, waktu, tenaga, juga rasa sakit, asal tidak pantang menyerah" Abi memulai kalimat nasihatnya. Kalimat tersebut tidak hanya berhenti disana, masih berparagraf-paragraf lagi jika kutuliskan disini. Abi juga bercerita tentang masa remajanya--tentang sekolah dan usahanya berdagang.

Momen seperti itu sangat jarang terjadi, karena jika sudah di mobil, Abi jarang meladeniku yang suka bicara ngalor-ngidul, bertanya segalanya.

"Abi iki nyetir, butuh fokus, hp wae dipateni cek gak iso ngangkat telfon, kok samean takon terus, bingung abi fokuse buyar, mikir jawaban karo fokus nak dalan".

Sejak saat itu, kuputuskan untuk tidak bayak bicara jika duduk disamping Abi yang sedang fokus mengemudi. Pun jika aku ngoceh, akan kubicarakan hal yang menambah informasi, bukan kalimat pertanyaan yang menuntut fokus tinggi untuk menjawabnya.

Kisah Kerang Mutiara ini tidak ujug-ujug langsung diceritakan Abi kepadaku. Waktu itu, aku yang baru selesai ujian nasional dan sibuk menyiapkan, memikirkan serta melamukan materi (lagi)--untuk ikut seleksi SBMPTN, menyatakan semua kegelisahan serta keluhanku kepada Abi.

Dan terjadilah, kisah yang kutulis di atas adalah secuil motivasi dari Abi untuk anaknya yang sedang galau menghadapi dunianya--padahal SBMPTN bukan akhir segalanya.



Gresik
Monday, Feb 04 2019.

Komentar

Postingan Populer