Ternyata ini Bukan Lelucon
Cerpen #2
Masih di kamar rumah sakit tempatku berbaring.
Iko memelukku lebih lama dari pelukan Buna, aku tetap diam sambil mencoba merangkai kejadian satu jam ini, berusaha mengingat apapun sejauh itu bisa membuatku mengenal sosok teduh menenangkan yang sedang memelukku.
“maaf ya Ra, harusnya aku nunggu kamu sampai siuman, tapi kerjaan semalam gabisa ditinggal, gimana kepalanya. Masih pusing, sebelah mana yang sakit?” tanya Iko sambil melepaskan pelukan, kemudian memegang kedua tanganku, sedang aku menatapnya penuh telisik, dengan ekspresi bingung penuh tanda tanya.
“Bun?” aku menoleh ke arah Buna
“Ko, Era sedang lupa” Buna mencoba menjelaskan, menatap Iko sedih.
Sedang lupa, itulah sebutan untukku ketika aku berada pada kondisi dimana hanya bisa mengingat sebagian dari seluruh memori yang kupunya sepanjang hidupku. Kejadian ini tidak hanya terjadi sekali-duakali, entah ini yang ke berapa kalinya.
Sudah dua bulan aku terbaring disini, kata dokter kondisi fisikku sudah cukup baik, namun tidak otakku. Otakku masih mengalami gangguan yang cukup serius, hal itu yang membuatku kadang terjebak pada ingatan tertentu. Karena jembatan yang menghubungkan memori satu ke memori lainnya sedang mengalami kerusakan. Aku susah mengenali kapan kejadian-kejadian yang ada di ingatanku. Juga mengingat kapan terakhir kali kejadian itu terjadi.
Aku pernah siuman setelah operasi dengan memori Era masa SD, bayangkan betapa bingung dan paniknya aku yang merasa kalau baru saja jatuh dari sepeda kemudian bangun dalam kondisi sudah menjadi wanita 30 tahun. Bingung bercampur depresi.
Dikesempatan lain, aku pernah terbangun sambil menahan sakit memegang lututku, menangis sekuat tenaga, bilang ke Buna kalau aku jatuh dan kedua ban sepedaku bocor, lalu memohon Buna untuk tidak memarahiku, padahal luka di lututku sudah sempurna hilang tak berbekas.
Stuck pada ingatan tertentu seperti itu biasanya tidak bertahan lama, hanya beberapa jam saja. Tapi kejadian demi kejadian seperti itu benar-benar sangat menyiksa.
Kali ini aku bangun dengan memori anak kelas 11 SMA, yang sedang sibuk-sibuknya mengurus agenda jurnalis sekolah, juga beban tugas matematika yang bikin pusing. Rasanya baru kemarin aku berlari-lari menempel koran mingguan yang telat ditempel di mading selepas upacara hari Senin. Tapi seakarang, mengetahui kenyataan kalau aku sudah mengalami banyak hal, melewati belasan tahun, dan sekaligus melupakan hampir separuh ingatanku, membuatku frustasi.
Tidak hanya itu, kalau obat penenang atau pain-killerku habis, sudah tidak bereaksi, maka aku yang merasa sangat tersiksa akan teriak sejadi-jadinya, meskipun seberapa keras teriakan ampunku, dokter tidak akan memberiku dosis tambahan. Katanya menjaga konsentrasi obat agar dapat bekerja dan tidak merugikan badanku.
Suamiku Iko sangat sabar, dua bulan ini dia jarang pulang ke rumah, dia selalu merawatku, bergantian dengan Buna. Setiap aku selesai operasi, Koko (ternyata aku memanggilnya dengan sebutan itu) selalu menungguiku sampai siuman. Baru semalam ada urusan kantor yang tidak bisa diwakilkan, rapat tender proyek jembatan besar. Jadi sejak semalam Buna yang menemaniku.
Operasi kali ini memakan waktu lebih dari 3 jam, dan aku membutuhkan 3 hari untuk siuman setelah operasi.
“kepalaku masih sakit mas, ini sebelah sini” aku menunjuk posisi sakitku di kepala.
“Panggil aku Koko ya sayang, aku biasa manggil kamu Rara” timpal lelaki itu.
Aku berusaha nyengir dan tersenyum, walau kaku dan sangat asing. Dalam ingatanku di film-film yang biasa kutonton, meskipun hilang ingatan, jika menyangkut hal yang disukai pasti tubuh akan otomatis melakukan tugasnya sendiri, tapi ada apa denganku? Apa mungkin Buna bohong soal lelaki tampan ini adalah suamiku? Aku sempurna merasa kalau aku Era umur 16 tahun. Kenapa tubuhku tidak mengenalinya? Pelukan tadi juga terasa biasa.
Tapi aku mulai tersipu, khas anak remaja yang baru saja dilempar senyum oleh lelaki yang ditaksirnya. “Andai aku benar-benar masih umur belasan, ini akan sangat memalukan” gumamku dalam hati.
Buna kemudian pamit pulang, meninggalkanku dan Koko sendirian, dalam diam suasana terasa sangat canggung, ah yang benar saja, sepanjang ingatanku aku sama sekali tidak mengenalnya, bagaimana aku akan mengahadapinya seorang diri.
Tapi tidak dengan lelaki itu, Koko mulai mengoceh banyak hal, menceritakan pertemuan pertama kami, mengeluh betapa cuek dan egoisnya aku dulu, meskipun aku sama sekali tidak mengingat satupun momen kebersamaan dan juga kisah kami, aku tertawa. Koko tidak bohong, ternyata aku yang kukenal juga sama seperti aku yang dikenal Koko.
Perlahan kepalaku terasa berat, mataku sudah tidak bisa menahan kantuk. Aku tertidur, nyenyak sekali. Dalam mimpi, aku melihat aku dan Koko duduk berhadapan di perpustakaan kampus, dia sedang mengajariku sesuatu, sambil sesekali menjitak kepalaku. Aku tidur sambil tersenyum, semua itu terasa sangat sangat nyata.
Koko menarik selimut lebih tinggi, membuat badanku tetap hangat, mematikan lampu kamar dan menutup setengah gorden jendela. Setengahnya lagi dibiarkan terbuka untuk pencahayaan meja pojok ruangan, disana tempat sementara Iko bekerja.
Iko membuka laptop, melakukan aktivitas kerjanya seperti biasanya, tidak jauh dari tempat duduknya, aku yang sedang tidur dengan egoisnya menikmati mimpi itu, sendiri.
####
Semoga ada ide lain agar tidak mandek ya huehe, pembaca sekalian.
Image source.
Komentar
Posting Komentar