Ini Bukan Lelucon, kan?
Oke, karena aku bingung akan menulis cerita tentang apa. Kumulai saja dari..... sekarang.
Bising sekali jalanan, suara wiu wiu gerobak kereta putar anak-anak terdengar paling menonjol.
Wiu wiu wiu wiu toooet toooooet wuuu wuuu wuu tet tet teet teett tet.
Selain itu, klakson motor, mobil, truk bahkan becak motor tak mau kalah menyahuti, berebut membunyikan paling keras.
Bukan, bukan, itu intermezzo saja. Tidak ada hubungannya dengan cerita dibawah ini.
Baiklah kita mulai.
CERPEN #1
Namaku Azkaira Natasya Barbara. Teman-teman SMA biasa memanggilku Barbar, terdengar aneh memang, tapi mau bagaimanapun itu adalah namaku. Sewaktu taman kanak kanak sampai tamat SMP semua temanku memanggilku Azka. Orangtuaku memanggilku Era, lalu aku memanggil mereka dengan Abun dan Buna, entah bagaimana ceritanya mereka membuat panggilan yang menurut mereka keren itu.
Abun adalah ayah yang sangat bijaksana, tegas, dan sangat berani, begitu juga dengan Buna meskipun tidak seberani dan setegas Abun, Buna lebih dari cukup untuk bisa menangkap ular yang masuk ke kamarku. Dirumah, mereka jarang sekali bertengkar dan mendebatkan suatu hal, hidup kami bertiga bisa dibilang cukup bahagia. Abun bahkan menurut ingatanku jarang sekali marah, ayah yang sangat pengertian, dan Buna adalah ibu yang sempurna!
Aku tidak akan menjelaskan secara terperinci bagaimana rupa dan keadaan fisikku, seingatku, banyak orang bilang kalau aku secantik Maudy Ayunda dengan tanda kutip jika tersenyum sedikit saja, hehe, bayangkan, kalau tersenyum sedikit saja sudah mirip Maudy, bagaimana kalau senyumku kulebarkan? Wah pasti lebih cantik dari Maudy Ayunda.
Sekarang aku sedang terbaring di rumah sakit, aku lupa apa yang terjadi padaku kemarin sehingga bangun-bangun sudah di rumah sakit saja, dengan kepala yang rasanya sakit nyut nyutan. Diperban lagi.
“Bun, Buna bun, aku haus” rengekku pada Buna yang sedang duduk tertidur di sebelah ranjang, sambil memegang tanganku.
Buna terbangun, menoleh ke arahku sambil tersenyum, kemudian membantuku duduk dan meminumkan air.
Aku mencoba menggenapkan kesadaranku.
Tunggu dulu, kenapa Buna terlihat lebih tua? Mukanya terihat lebih keriput. Rambutnya yang hitam panjang kenapa dipotong pendek dan juga sudah sedikit beruban. Meskipun tatapan matanya tetap seperti Buna, tapi kenapa ini? Ada apa ini?
“Bun, buna kenapa potong rambut?” tanyaku.
“Oh, model baru, sedang trend sekarang, bagus ya”
Aku tersenyum, dengan masih terheran dan bingung.
“Oh iya Bun, aku ada PR matematika bu Ruli, soal persamaan integral yang aduh memikirkannya saja sudah pusing sekali, untung aku sedang sakit ya, jadi besok gak masuk sekolah, bebas”.
“sudah, kamu istirahat saja dulu, jangan dulu mikir sekolah. Buna tinggal keluar dulu ya”.
Aku menangguk sambil berusaha mengingat-ingat banyak hal. Tentang berita liputan minggu lalu yang belum kutulis, jadwal mingguan redaktur koran sekolah, hadiah ulang tahun Noni, teman baikku, yang ternyata belum kusiapkan samasekali.
Buna lama sekali, hampir satu jam dan aku masih terjaga, sibuk memikirkan banyak hal sampai tidak bisa kembali tidur.
Di luar kamar inapku terdengar ramai orang berlalu lalang, juga suara petugas kebersihan yang sedang membersihakan kaca pintu kamarku. Diluar jendela cahaya matahari mulai terlihat, oh ternyata sekarang waktu pagi.
Mataku mulai menelisik ke seluruh penjuru ruangan, aku tidak menemukan kalender, tangal berapa ini? Buna belum juga kembali dari Toilet.
Kugaruk sedikit tangan kiriku yang gatal, terlihat sedikit bengkak karena tusukan jarum dan selang infus. Hei, kenapa bekas tusukan jarum ini ada banyak? Sudah berapa lama aku terbaring disini?
Buna terdengar membuka pintu, masuk dengan perlahan, mungkin berjinjit, tanpa menyadari kalau ak masih terjaga, dan sedang menoleh memandaginya.
Sambil tersentak kaget “loh, kamu kok belum tidur sayang”
Aku mengangguk
“Bun, sekarang tanggal berapa?”
Buna diam, masih memegang gagang pintu, sambil menahan sesuau keluar dari matanya.
“Bun, tanggal berapa sekarang?”
Buna menutup pintu, mendekatiku. Duduk di pinggiran ranjang tempat tidurku, kemudian memelukku erat sambil menangis
“12 Agustus 2019 nak, sekarang hari senin” sambil menangis tak tertahan Buna memelukku sangat erat, mengusap rambutku, berusaha menenangkanku.
Meskipun aku samasekali tidak menangis.
Teman-teman, ini aku, Barbar teman SMA kalian yang entah bagaimana bisa ke masa depan mendahului kalian. Noni, maaf karena tidak sempat memberimu hadiah ulang tahun. Dan aku, maaf karena sudah sempurna melupakan memori milikkku sendiri. Entah bagaimana aku akan menjalani sisa umurku, dengan memori anak SMA ditubuh wanita 30 tahun ini.
Sambil berbisik aku bertanya “Bun, Abun mana?”
Sambil menangis, Buna bilang Abun sudah tiada, 5 tahun yang lalu, pergi mendahului kami bertiga. Bagaimana bisa aku lupa kapan Abun pulang untuk selamanya? Bagaimana aku lupa masa-masa akhir SMA ku? Bagaimana Noni? Apa aku sempat bekerja dan kuliah?
Aku tidak bisa menangis, bingung dengan semua ini.
“Buna? Apa aku sudah berkeluarga?” tanyaku dipelukan Buna.
Tanpa kami sadari, lelaki itu masuk, sambil membawa buket bunga kesukaanku, kemudian menghampiri kami dan meletakkan bunga di meja samping ranjang.
Buna melepaskan pelukannya. Sambil tersenyum dan mengusap air mata, Buna menatapku.
“ini Iko sayang, suamimu”
Aku menatap lelaku itu, dia tersenyum hangat kearahku, menggantikan posisi duduk Buna, sambil mendekat dan memelukku. Aku diam.
“Oh Tuhan, bagaimana bisa aku mencintai sesorang yang samasekali tidak kuingat ini” lirihku dalam hati.
Ini bukan lelucon kan?
Aku, bagaimanapun memoriku mengingat siapa aku, tetaplah berjuang hidup. Untuk Buna, untuk aku, untuk lelaki yang sedang memelukku ini, untuk semua orang-orang yang menyayangiku, meski tidak kuingat samasekali bagaimana bisa aku sampai pada aku yang sekarang.
####
Klik disini untuk membaca kelanjutan cerita Era
Image source.
ðŸ˜
BalasHapus😢😢
Hapus