The Beginning


penerbangan sby-klia

Hai, assalamualaikum.

Chana, 10 Des 2019.

Pada kesempatan yang akan dituliskan konten ini, aku akan membagikan cerita perjalanan magang di Songkhla Thailand. Tepatnya di Padang Besar, Sadao, Songkhla, Thailand Selatan. Tulisan demi tulisan yang akan ditulis selanjutnya tidak pernah diketahui bagaimana kelanjutan dan akhirnya, aduh tanpa mengambil banyak kata untuk dituliskan..

Here we go.

Rencana perjalanan magang ini bisa dibilang banyak drama, ada aja yang terjadi, dari mulai masalah remeh sampai masalah yang serius menguras tenaga. Tak semua bisa kuceritakan disini memang, tapi akan ada bagian sedih, senang, senang, bahagia, dan menyenangkan yang akan kuceritakan disini 😂😅. Karena urusan paspor dan visa sudah kutulis panjang lebar dipostingan sebelumnya, saatnya kita beranjak ke eksekusi kegiatan magang.

Nah, sebelum kami membuat visa di embassy thai Surabaya, kami sudah persiapan beli tiket flight pulang-pergi, dengan estimasi visa selesai pada tanggal sesuai keberangkatan. Namun Allah berkehendak lain, rencana keberangkatan tanggal 18 November 2019 mundur menjadi 8 Desember 2019 karena ada kendala di dokumen keperluan visa. Terpaksa kami reschedule tiket yang menghabiskan biaya dari jatah uang jajan. Tapi dengan mundurnya keberangkatan ada banyak hikmah yang terjadi, kami jadi bisa ikut kuliah 3 minggu full dan juga menyelesaikan persyaratan pengajuan judul skripsi, Allah memang sebaik itu dalam menyusun setiap rencana.

Singkat cerita, 8 Desember kami berangkat dengan jadwal penerbangan pertama ke Kuala Lumpur pukul 5 pagi. And to be honest that was my very first flight experience, dan waw pengalaman penerbangan pertamaku sukses kulewati dengan tidur hampir satu jam, yang luckily I got the seat pas disamping jendela. Jadi sambil nikmat terbawa suasana menonton awan yang indahnya luar biasa, aku tertidur.

Di KLIA kami transit 6 jam sebelum melanjutkan flight ke Thailand. Selama transit, kami hanya keliling bandara sambil ikut mengantri di tempat imigrasi, jauh-jauh ke Malaysia eman kalau gak dapet stempel di paspor, hahahaha nambahin tanda perjalanan negara mana yang sudah kita ampiri (meskipun hanya beberapa jam).

Oh dari tadi aku lupa tanpa menyebutkan “kami” itu refers to siapa? I was with my 3 friends and pak kaprodi yang luar biasa, tanpa kujeaskan, kalian yang mengenal sudah pasti faham.

Selesai keliling dan makan di mana aku lupa yang penting masih di bandara, kami ke mushola, sholat lalu antri imigrasi dan kemudian nunggu giliran terbang.

Our lovely Pak Kaprodi

Jadwal pesawat pukul 03 pm dan sampai 03.05 pm, dengan polosnya I thought that kita hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk terbang. Tapi ternyata tidak lah gaes, kalian pikir saja sendiri ya, pasti sudah paham hahahaha.

Perjalanan sejam lebih itu sukses membuat mual, dari muai take off yang kasar sekali, suara bising yang berada tepat dibawah kursiku, dan belum lagi goncangan dan gerak pesawat yang sangat kurang ajar, naik turun membuat jantungku serasa tertarik gravitasi. Berhubung ini kedua kalinya, aku belum bisa terbiasa.

Sampai di Hatyai, mual pusing rasanya jadi satu. Tapi waktu masuk toilet, meski mual dan pusing sudah sempurna hilang, buang air kecil rasanya sangat tidak nyaman.

Suasana di bandara terasa seperti bukan bandara, malah lebih seperti stasiun kereta. Snacks yang dijual di kedai-kedai pun juga terlihat dibungkus wadah khas seperti yang ada di kedai jajan oleh-oleh di berbagai kota di Indonesia. Selain kedai, waktu itu ada pemandangan gerombolan pelajar yang membuka banner besar bergambar atlit (yang mungkin menang di kejuaraan segames yang sedang berlangsung di Philippines). Mereka terlihat menunggu di pintu kedatangan, sambil berbaris rapi membentuk pagar pembatas, terlihat semangat menyoraki, terdengar tidak seperti kekecewaan, mungkin teman mereka menang, atau bersyukur karena sudah berjuang sampai semifinal.

Aku dan temanku hanya melihat sambil lalu, sibuk mencari toilet.
Setelah urusan toilet selesai, dan urusan pak kaprodi yang harus tertunda sebentar di bagian pemeriksaan, kami keluar bandara yang langsung mendapati ustadz penjemput dari perwakilan sekolah yang kami tempati untuk magang.

Kesan pertama waktu itu, wah ternyata rasanya seperti Indonesia—meskipun perbedaannya banyak sekali, banyak muslimah berkerudung yang membuat kesan nyaman dan terasa seperti rumah sendiri. Kami dijemput Ustad Muhammad, beliau sangat fasih berbahasa Indonesia, maklum dulu kuliah di UIN Walisongo Semarang. Ada ustad lain alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga ikut menjemput.

Kami naik mobil serupa angkutan umum khas Thailand. Bedanya, mobil tersebut mobil sekolah yang biasa dipakai untuk antar jemput siswa dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. Kalau di Indonesia bisa dibilang seperti mobil satpol pp. Sepanjang perjalanan bandara-penginapan, ustad UIN Syarif yang kebetulan duduk bersama kami di belakang, banyak mengobrol dengan pak kaprodi—juga kami. Berusaha nostalgia jaman kuliah di Indonesia, membahas makanan, beliau juga menjelaskan banyak hal ke kami.

naik mobil jemputan sekolah, first impression jalanan di Hatyai

Jalanan disini tidak sepadat Surabaya, sepeda motor yang lewat bisa dihitung jari, juga tidak ada bangunan tinggi dan berdempet seperti di kawasan kos dekat kampus. Pedagang kaki lima pun tidak banyak, mereka biasa berjualan di satu titik, misal di pasar atau di pusat tempat makan seperti pujasera. Selain jalanan yang menyenangkan, sampah juga tidak banyak berserakan, mungkin ada satu dua botol plastic, tidak dengan bungkusan kresek besar berisi sampah, salut sekali dengan kesadaran manusianya. Tapi itu kesan pertamaku, keesokan harinya, akan banyak wajah-wajah wilayah Thailand yang akan kukunjugi, dan yang pasti tidak semua wilayah bisa sama bersihnya hehehe.

Sepanjang jalan, banyak tempat ibadah besar dan megah milik pemeluk Buddha, tempat pengrajin dan penjual patung, juga berbagai jenis kantor pemerintahan, sekolah, penginapan, kantor, groceries store, dan tempat makan. Semakin menjauh dari Bandara, bangunan juga tidak terlihat besar dan megah, rumah-rumah penduduk arsitekturnya terliat serupa dengan rumah penduduk di Indonesia, hanya saja atap mereka lebih lebar dan rendah. 

Karena bukan kota besar seperti Bangkok, disini kota masih surrounded by pohon-pohon besar, bukit dengan pohon karet yang rimbun, juga aliran air menyerupai sungai, dengan air jernih tanpa sampah. Udara terasa segar sekali, apalagi waktu itu mendung dan sedikit gerimis.

Sampai di penginapan, kami istirahat dan siap diri untuk kemudian diajak makan malam di perlimaan Kota Chana. Di penginapan, awal culture shock bermula🤣. Colokan listrik yang bentukannya beda seperti di Indonesia, untung hp milikku xiaomi versi lama, jadi cocok saja. Lalu ac di kamar wah besar sekali, padahal kamar tidak begitu besar, waktu kukirimkan foto ke temanku dia bilang “nid, bukane iku AC seng biasa nak supermarket ya” yap, kamar jelas sangat dingin, ac kumatikan saja sudah dingin karena diluar hujan. Dan sialnya, air pemanas di kamarmandi tidak menyala, lengkap sudah.

di penginapan, Chana District

Kemudian penanda adzan yang jelas tidak akan terdengar lewat pengeras suara masjid. Masjid di sekitar penginapan letaknya lumayan jauh, dekat pusat kota Chana. Dhuhur dan asar sudah kami jama’ waktu di KLIA, selain arah kiblat yang membuat bingung (padahal sudah cek aplikasi) waktu sholat juga membingungkan (sekali lagi meskipun sudah cek aplikasi waktu sholat). Matahari disini tenggelam dan sempurna gelap pukul 6 lebih, jadi waktu maghrib juga sekitaran waktu itu. Karena kami masih kebawa capek dan sedikit jetlag, otak jadi ikut oleng sedikit hahahaha tidaksadar betul kalau kami sedang berada di tempat yang bermil mil jauhnya dari keluarga kami, yang pasti keadaannya akan berbeda jauh.

Oh iya, sekitaran pukul 7 malam (yang kukira sudah isya) ustad Muhammad datang menjemput, mengajak makan di kedai seberang pasar makanan di Chana, tidak jauh ternyata dari penginapan. Kami makan nasi daging saos merah. Semacam tongseng tapi rasa Thailand. Entah apa sebutannya disini, setiap makanan akan kunamai sesuai komposisi dan penampakannya.

daging saos merah, thai food pertama yang kami makan sejak kedatangan sore sebelumnya

Ustad sempat menawarkan untuk mampir ke 7Eleven, minimarket sejenis indomaret yang banyak ada di pinggir jalan. Tapi karena besoknya ada pembukaan dan juga penjemputan dari sekolah penempatan masing-masing, kami menolak, lebih baik sekalian membeli keperluan besok saja.

Keesokan harinya, Senin 9 Desember 2019 selepas dhuhur, kami menuju kantor PISA yang terletak di dalam lingkungan perkantoran sipil district Chana, ada petugas berseragam tentara yang menjaga di gerbang masuk. Agenda hari itu adalah pembukaan dan pengenalan mahasiswa, staff serta petinggi asosiasi yang terlibat dalam kegiatan ini.

Ternyata selasa keesokan harinya bertepatan dengan hari libur nasional, hari besar raja. Jadi semua sekolah cuti, termasuk sekolah yang akan kutempati. Bapak pemangku sekolah/kepala sekolah perwakilan sekolahku tidak terlihat waktu pembukaan itu. Jadi, Rabu aku akan diantar pihak PISA ke sana. Untuk sementara, akan tinggal di Rahmaniyyah School, Chana District dengan dua teman yang ditempatkan disana sampai Rabu Pagi.

****
Hey, bukannkah ini terlalu panjang untuk jadi cerita pembuka? Padahal, tulisan panjang lebar ini hanya diskripsi serta apa yang kulakukan dari berangkat sampai akhirnya tinggal di negara ini. Oh iya, kisah selanjutnya akan kutulis juga disini. Nantikan saja!




Komentar

Postingan Populer