Hampir Sebulan Berjalan



Kedai kebab yang kami tumpangi sholat maghrib

Satu minggu lagi genap sebulan aku tinggal di district perbatasan yang sangat menyenangkan ini, Padang Besar. Tahun baru kemarin kulalui hanya dengan tidur saja, tanpa menunggu detik pergantian tahun yang meskipun ada badai atau apapun itu tidak akan bisa dicegah, waktu akan terus berlanjut, tidak peduli kamu, aku, kita dan mereka berubah atau tidak, waktu akan selalu berjalan dan kemudian berubah. Meninggalkan semua yang sudah terjadi dan juga terkadang dengan berbagai rentetan penyesalanan yang menemani.

Banyak hal yang terjadi 3 minggu ini, bertemu orang baru, masalah baru, pengalaman baru, perasaan baru, dan definisi “rasa senang dan bahagia” yang mungkin juga baru.

Yang paling menyenangkan dari semua itu adalah bertemu orang baru. Aku tentu sudah cerita panjang lebar soal bertemu dengan bapak-bapak terminal bus Hatyai yang kutulis di postingan sebelumnya. 

Tapi, itu bukan satusatunya pengalaman menarik dan berkesan yang kudapatkan disini. 
Ada belasan orang yang--kutemui tanpa sengaja entah dimanapun itu, sudah mengajakku berbicara dan sekedar menyapa hai kemudian melempar senyum. Sangat menyenangkan rasanya.

Dari mulai ibu-ibu bercadar penjual bakpao di pasar dekat 7Eleven, sampai bapak-bapak lari pagi di bukit Sao Faen Din dekat rumah. Semua ramah dan mengawali sapa dengan senyum sumringah kemudian dilanjutkan kalimat tanya versi masing-masing.

Ibu-ibu bercadar itu menyapa aku dan temanku waktu hari minggu, siang terik sepulangku dari kedai pakaian. Beliau bilang “Indo ya”, lalu kami lanjutkan dengan menghampiri dan sedikit chitchat bertanya dan basa-basi banyak hal, ternyata si ibu mengenali kami dari Indonesia karena pakaian dan  kerudung yang kami kenakan, katanya “sangat Indonesia sekali”, kami bercakap-cakap menggunakan bahasa melayu pas-pasan.

Bagaimana dengan bapak-bapak lari pagi? Pagi itu hari terakhir ditahun 2019, 31 December pagi. Di hari sebelumnya waktu kami baru datang dari central festival mall di hatyai, aku dan temanku mampir ke warung ibuk depan rumah, kami mampir makan dan seperti biasa, berbincang dengan ibu. Ibu kemudian menawari untuk mengajak kami naik ke bukit yang kusebutkan tadi, beliau bilang kami harus siap pagi-pagi sekali.

Keesokan harinya, sekitar selepas subuh tepat, ibu sudah menggedor pintu rumah kami—seolah tau kalau kami belum bangun. Bangun-bangun kami langsung bersiap diri, sholat dan sebagainya, yang akhirnya tetap berangkat pukul 6 lebih, ibu menunggui kami lebih dari setengah jam (kebiasaan molor di indo jadi tabiat buruk kami disini😭)

Jarak rumah ke bukit tidak begitu jauh, hanya saja jalanan berkelok naikturun yang membuatnya sedikit terasa jauh. Sampai, ternyata motor diparkir dibawah bukit, perlu waktu sekitar 10 menit untuk naik ke atasnya, tentu saja jalan kaki. Di atas ternyata pemandangan yang disajikan bagus sekali, Padang Besar terlihat jelas disini, kata ibu kalau ingin lihat yang lebih jelas lagi kami bisa naik ke bukit paling atas lagi, jalanan lebih berkelok, terjal dan jauh.
Spot foto di bukit pertama

Untung, waktu itu ada bapak-bapak local yang bawa mobil pickup, beliau mengajak pengunjung yang ingin naik ke atas. Aku dan satu temanku ikut. Di pickup, kami berbincang dengan bapak-bapak lari pagi, sebelum akhirnya bapak itu antusias karena kami berdua adalah guru, beliau banyak bertanya tentang kami, meskipun dengan bahasa pas-pasan (karena si bapak gak bisa melayu ataupun bahasa inggris).
Pemandangan di bukit ke dua

Aku jadi ingat beberapa minggu yang lalu waktu berkunjung ke embassy, pak konsulat bilang bahwa 2 orang yang disegani di Thailand adalah Biksu dan Guru. Dan yah… sepertinya ini satu dari sekian baanyak pembuktian itu. Bapak-bapak pelari bahkan waktu itu sontak memberi tahu seisi pickup, antusias bilang kalau kami berdua adalah guru dari Indonesia. Dengan muka sumringah dan terlihat bahagia, si bapak tetap melanjutkan percakapan, sambil berpegang di pinggiran pickup yang memungkinkan, karena jalanan berkelok dan terjal membuat kami sesekali miring dan meluncur kesana kemari.

foto di puncak bukit kedua, setelah turun dari pickup
Sampai di puncak, bapak itu sibuk menjelaskan semuanya, menunjuk ini itu untuk memberi tahu kami berbagai hal. Di atas, pemandangan lebih jauh lagi jangkauannya, kami bahkan bisa melihat wilayah Malaysia. Ada tembok pembatas wilayah Thailand-Malaysia di atas sana.
Tembok pembatas Thai-Malay
Nah, kemudian ada satu pengalaman berkesan lain beberapa minggu yang lalu, masih aku dan satu temanku yang ada di foto diatas. Kami berdua pergi ke food street 3 blok ke arah timur dari dari rumah,  waktu itu sore hari selepas mengajar, aku lupa hari apa. Karena sudah masuk waktu maghrib dan kebetuan kami berdua mampir di kedai kebab, aku sontak bertanya ke ibu-ibu yang duduk di kedai, untung beliau lancar berbahasa melayu. Ibu menunjuk 2 masjid yang dekat dari sana, namun beliau juga bilang “nak sembahyang kah? Kak sini je, di rumah sini boleh, jom masuk, kak sane boleh sembahyang”si ibu sambil menunjuk ruang didalam ruko miliknya. Wah tanpa pikir panjang, kuiyakan tawaran itu, sambil berkali bilang maaf merepotkan dan terimakasih karena sudah menumpangi sholat.

Sebelum tawaran itu dilontarkan si ibu, kami mengobrol banyak, seperti biasa menanyai kami dari mana, keperluan apa tinggal disini dan dimana kami tinggal. Aku sholat lebih dulu, setelah selesai, temanku menyusul. Waktu menunggu temanku yang masih sholat, kebab pesanan kami selesai dimasak, bapak penjual kebab itu menyodoriku botol cola rasa anggur, warna ungu “nih, minum ya, hadiah”  si bapak menjulurkan botol sambil tersenyum ramah.

Aku kemudian juga ikut menyodorkan uang untuk membayar kebab, 40 bath. Sambil sungkan-sungkan terimakasih kubilang ke bapak makasih banyak berkali-kali.

Dari kedai kebab, kami melanjutkan perjalanan, njajan di street food.



Oh hampir lupa, ini ada beberapa foto di dekat parkiran bukit itu:
,          


Komentar

Postingan Populer