MENYENANGKAN MEMANG
Pertengahan
februari aku pulang ke Indonesia. Setelah sempat jalan-jalan sebentar di
Singapura, besok paginya di tanggal 13 Februari aku sampai di kota panas,
padat, menyebalkan tapi selalu kurindukan—Surabaya. Datang-datang aku sudah
disambut ramai, angkep, sumuk, serta sibuknya kota ini. Meskipun sekejab
kemudian sempat turun hujan sebentar, namun kemudian disusul cuaca panas bukan
kepalang.
Rasanya aneh
sekali setelah tinggal beberapa minggu di negara lain, setelah tau bedanya
kondisi di salah satu kota di belahan dunia sana, dengan jalanan lebar,
kendaraan dengan model berbeda, kebiasaan manusianya yang berbeda, tempat
parkir dan bangunan mall yang berbeda, sekolahnya, siswa dan gurunya, kendaraan umumnya. Aku jadi
jatuh cinta. Mataku serasa dibukakan dari tembok yang menghalangi, setelah
sebelumnya hanya melihat dari balik jendela saja.
Satu dari sekian
banyak favoritku adalah jalanan lebar di Thailand. Rasanya tidak terlihat
padat, meski sangat terlihat bedanya antara jalanan di pusat kota dan di district kecil. Untuk manusia yang baru
pertama kali mengunjungi luar negeri, Thailand cukup mengesankan. Aku banyak
belajar di sana, tentu saja. Budaya dan kebiasaan orang-orang yang berbeda,
membuatku menjadi manusia yang “oh jadi begini” “oh jadi aku harus seperti ini”
dan lebih banyak lagi, kurang lebih seperti itu.
Aku beruntung ditempatkan di perbatasan ujung
selatan. Masyarakat mayoritas dapat berkomunikasi dengan bahasa melayu, karena
mereka memang banyak yang berkerabat dengan warga Malaysia sana. Seperti makcik
kedai depan rumahku. Aku bisa bebas memesan makanan dengan request tertentu
karena tidak seselera dengan makanan warga lokal, mudah saja berkomunikasi
dengan beliau, gunakan bahasa melayu. Tak jarang makcik juga membagikan masakan
ke rumah kami.
Selain itu,
banyak warga lain yang tak kalah ramahnya dengan makcik. Pernah sekali aku
lewat di depan rumah cantik, dengan pagar dan taman terawat, kebetulan sore itu
si pemilik rumah sedang ada di rumah, terlihat membersihkan mobilnya di teras
depan. Ada dua orang ibu-ibu, yang satu perawakan cantik terlihat feminim, satunya terlihat berpakaian seperti laki-laki, tapi dari postur tubuh orang itu jelaslah perempuan.
Aku dan temanku
melempar senyum ke mereka berdua.
Mereka membalas
senyum dan menyapa.
“hai, where are
you from” kental logat Thailand
“indo” kujawab
sambil tersenyum ramah, kami berhenti sejenak untuk sekedar bercakap.
Mereka tentu saja
mengenali kami bukan warga local dari pakaian yang kami kenakan, juga model
kerudung yang kugunakan tak sama dengan yang biasa dikenakan orang Malaysia.
“ah Indo, ka mana
sini?”
“teacher, we’re
English teacher in Darul Mujahideen” jawabku sambil menunjuk bangunan sekolah.
“Ohh, okay okay
Welcome to Thailand” jawabnya sambil membuka tangan lebar-lebar, ramah sekali,
tak lupa senyum masih saja terkulum di wajahnya, hingga kami pamit meninggalkan
depan rumah mereka.
Tidak hanya satu
dua warga lokal yang tertarik untuk menyapa kami. Kebanyakan dari mereka yang tidak
bertanya, hanya melempar senyum ramah, itu sudah lebih dari cukup untuk menambah
rasa kerasanku tinggal di Padang Besar. Satu hal yang tak bisa kutahan adalah semua
makanan yang mengandung rasa asam, aku suka asam, tapi tidak seasam masakan disana.
Semua jenis makanan, entah pedas atau manis, pasti lebih dominan asam. Dan menurutku itu malah mengacaukan rasanya. Lidahku tidak biasa makan masakan asam sampai terasa getir.
Bakso, makanan
favoritku pun tak bisa kutemukan di Padang Besar. Ada pun bercampur dengan mie
dengan kuah coklat seperti Mie ayam, rasanya? Asam bukan kepalang. Bagaimana
dengan tomyam? Kalau di kedai makcik, aku selalu request begini
“makcik, pedas
tapi tak asam”
“ayoyoy, macam
mana suka pedas tak suka masam nih, sedap lah masam tuh” celoteh makcik sambil
meracik berbagai bumbu tomyam.
Kadang pun
“makcik, bosan makan ayam, daging je ya”
Dan makcik pun
sigap memasak tomyam terlezat kesukaanku.
Ah jadi Rindu.
**
Yang kusadari
setelah beberapa minggu tinggal disana, ada sedikit rasa aneh. Disana, tepatnya
di berbagai kota yang pernah kukunjungi seperti Hatyai, Chana, Songkhla, Sadao maupun
Padang Besar, tidak pernah kutemukan satupun pengemis, juga tukang parkir.
Waktu kutanya ke temanku yang orang Thailand, kata mereka memang di Thailand
tidak ada pengemis dan kang parkir.
“beda dengan di
Indo ya nid, sebentar-sebentar berhenti parkir motor, dua ribu, berhenti lagi
dua ribu, hmmm” tukas temanku.
**
Dengan jatuh
cinta pada Thailand, tidak membuatku membenci negaraku sendiri. Hey, Indonesia
punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Pulaunya, gunungnya, sungai, pantai,
budaya, alamnya yang indah bukan kepalang, makanan, rempah, kopi, semuaaaaa hal
yang ada disini pasti menyenangkan bagi warganya, ah juga orang-orangnya yang
ramah meskipuan pasti juga ada yang menyebalkan. Juga di Negara ini tempatku
tumbuh, mengenal apa ini itu, apa salah benar, bagaimana dan mengapa, juga
proses memperdalam kemampuan komunikasi lewat bahasa jawa dan bahasa Indonesia.
Disini juga tempat tinggal beberapa manusia special yang pernah menjadikanku
cinta setegah mati karena bisa hidup bersama dalam satu oksigen dan naungan
langit yang sama.
Tapi, jika
ada kesempatan di masa depan, untuk tinggal dan bekerja temporarily, di Thailand, aku dengan senang hati akan mengambil
kesempatan itu—tentunya dengan harus menimbang banyak hal sesuai situasi dan
kondisi di waktu itu. Mngingat sampai detik ini aku tidak bisa bahasa thailand, juga faham untuk membaca dan menulis tulisan aksorn, hal itu bisa jadi pertimbangan untuk iya tau tidak heheheheh.
Dan hey kalaupun iya, siapa tau pengalamanku akan jadi beyond beyond beyond yang
kupikirkan dan kubayangkan, benar bukan? 9 minggu saja banyak yang terjadi dan
mengubahku menjadi manusia yang lebih progressive
seperti aku yang sekarang. Bagaimana dengan bekerja yang sesungguhnya dan bukan
hanya sekedar jadi internship wow
pasti sangat menyenangkan!!! Apalagi pasti aku juga bisa berkunjung ke Makcik
dan guru-guru di sekolah tempaku magang dulu.
Ah senangnya
Senang sekali beranda-andai.
Komentar
Posting Komentar