Awal Mula Pandemi



Satu minggu dua hari kedepan, bulan ke-3 di tahun ini akan segera berakhir. Berganti April. Asal kalian tahu, tahun ini baru berjalan sampai bulan Maret saja sudah terlihat sangat berantakan. Di Januari, issue perang dunia ke-3 muncul, Donald Trump dengan semua statement dan tweetnya membuat rakyat dunia mulai gusar. Kasus antara Iran dan US yang saling serang statement membuat banyak spekulasi muncul, juga soal penjelajah waktu yang entah bagaimana, menjadi trending topic di YouTube dan berbagai kanal social media, meskipun tidak sepenuhnya menjadi rujukan kebenaran, namun cukup membuat beberapa orang was-was.

Kemudian di Februari Covid-19 mulai mewabah di seluruh penjuru dunia. Virus yang awalnya ditemukan pertama kali di Wuhan, China pada awal Januari ini dengan cepat menyebar, karena bertepatan dengan tahun baru China—yang membuat banyak warga China melakukan perjalanan di berbagai penjuru dunia, mudik lebaran. Indonesia sendiri memberikan pertolongan pada warganya yang berada di Wuhan, untuk segera dijemput dan dibawa pulang, sebelumnya mereka harus tertahan di Natuna selama 2 pekan untuk memastikan tidak ada yang terinveksi virus tersebut.

Namun bukan Indonesia jika tidak lucu, dari berbagai berita yang dilansir, Indonesia terlihat sangat menganggap bahwa wabah covid-19 atau Corona ini hanya lelucon. Bahkan ketika negara-negara di Asia Tenggara sudah terjangkit covid-19, kita, Indonesia belum menunjukkan data apapun soal itu, maksudku kata pemerintah Indonesia aman, tidak ada yang terinfeksi. Lucu sekali.

Kemudian tak lama setelah itu, professor dari Havard mem-publish jurnal penelitiannya—tentang ketidakmungkinan Indonesia bebas dari covid-19, dari hasil research-nya setidaknya berbagai macam pelancong membawa kemungkinan penularan wabah, tapi bagaimana mungkin kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak terjadi samasekali. Nah lucunya, manusia-manusia Indonesia malah mengecam penelitian itu. Lucu sekali.

Aku yang waktu itu berada di Sadao, Thailand, ikut miris. Bayangkan saja, meskipun aku tinggal di Thailand paling ujung selatan. Di bagian utara sana, Bangkok, orang-orang sedang chaos, berebut membeli masker karena wabah covid-19 terus naik di sana. Aku ingat sekali, sebelum covid-19 merebak aku pergi ke pusat perbelanjaan Central Festival di Hatyai, orang-orang masih santai, tidak ada yang memakai masker, dua minggu setelahnya, keadaan berubah, hampir semua orang memakai masker, di jalan, di mall, di tuk-tuk, dimanapun, waktu itu tepat tanggal 30 Januari.

Lalu jauh di Indonesia sana, orang-orang sibuk membuat meme menertawakan virus ini. Belum lagi banyak pernyataan orang-orang berpengaruh yang sangat tidak masuk akal, membuat masyarakat semakin yakin kalau penyakit ini hanya biasa saja, tak usah khawatir, kita aman, ini Negara Islam. Stereotype orang-orang tentang cara berpikir dan menyikapi masalah memang sangat bermasalah.

Aku pulang tanggal 13 Februari, jauh sebelum Italia menutup akses di seluruh penjuru negaranya—terhitung sekarang, sudah ribuan warga Italia mati karena virus ini. Waktu transit di Singapura selama kurang lebih 16 jam, aku tidak bisa membedakan bagaimana bedanya keadaan airport sebelum dan sesudah merebaknya wabah ini. Kata dosenku, kita harus sedia masker, di Singapura sedang masuk level kuning, mendekati bahaya. Tapi, menurutku Changi Airport masih terlihat ramai—meskipun  hampir semua petugas mengenakan masker, dan banyak sekali disediakan hand sanitizer di penjuru airport.

Aku sempat keluar bandara, menumpangi MRT menuju patung Merlion dan Pasar Bugis, orang-orang terlihat berkegiatan sebagaimana mestinya. Di airport tentu kami melewati berbagai macam screening, both di Hatyai airport ataupun di Changi Airport.

NAH!!!

Waktu sampai di Indo, tepatnya di Bandara Juanda Surabaya, waktu melewati imigrasi, kami tidak di screening apapun, hanya disuruh untuk mengisi form berwarna biru, ada banyak petugas berseragam kementrian kesehatan, but they just look at us dengan tidak sama sekali butuh untuk memeriksa kondisi kami. Wow, hebat bukan.

Dalam form, ada 10 pertanyaan yang berisi tentang keluhan dan kondisi yang dirasakan, seperti demam, pusing, batuk dan sebagainya, alamat tinggal, dan berbagai data pribadi lainnya. Lalu bagaimana kalau ada pelancong yang tidak memiliki satupun keluhan tersebut, tapi ternyata terpapar virus, mengingat masa inkubasi virus adalah sekitar 14 hari? Namun ternyata aku salah duga, tepat dua minggu setelah kedatanganku, ada petugas puskesmas yang datang ke rumah, mengecek keadaanku yang sempat transit di Singapura. Kebetulan waktu itu aku tidak di rumah, sedang di Surabaya. Barulah tanggal 2 Maret petugas puskesmas datang kembali. Aku hanya diobservasi tentang keluhan yang lagi-lagi sama seperti yang tertulis di kertas biru observasi.

Waktu kutanya kenapa baru 14 hari lebih setelah kedatanganku baru diobservasi, jawabnnya “ada perintah dari pusat mbak, makanya kesini” nah ingin ku lanjutkan pertanyaan dengan, emang perintahnya kapan pak, kok ga langsung ke sini waktu ada perintah, ini sudah 14 hari lebih loh, kacau sekali sop nya. Tapi semua kalimat itu kuurungkan. Malas kalau-kalau berargumen dengan petugas.

Sejak kejadian itu, dengan mengetahui berbagai kejadian lemahnya pengawasan tersebut, pasti sudah ada yang terjangkit covid-19, masalahnya hanya belum di tes saja. Kemudian beberapa hari setelahnya, pak presiden kita yang sangat jumawa dan hebat itu, mengumumkan ada 2 orang infected covid-19, identitas pasien dirahasiakan.

Indo mulai chaos sekarang dan seminggu belakangan. Sejak diumumkannya hal tersebut, pasien infected naik drastis menjadi 450 orang, dengan yang meninggal sebanyak 38 orang terhitung hari ini. Angka ini kalau dipersentase adalah cukup tinggi tingkat kematiannya (mengingat kasus hanya ratusan), berbeda dengan di Singapura yang hanya 290 pasien positive dan 2 meninggal dunia (terhitung data hari ini).

Dampaknya? kelangkaan masker, ada pun harganya tidak masuk akal, naik berkali-kali lipat, hand sanitizer juga begitu, orang-orang mulai panik (meskipun ada banyak seruan jangan panik jangan panik) sampai-sampai ada yang memakai sarung tangan latex keluar rumah, panic buying, masjid dan berbagai tempat peribadatan di tutup. Berbagai issue hoax, ah kalau yang ini banyak sekali. Juga berbagai statement ngawur masih saja terucap dibibir orang-orang besar seperti presiden. Aduh negaraku.

Sekarang, aku diam saja di rumah. Tidak lagi di Surabaya. Karena di desa ini bukan tempat penyebaran virus seperti kota-kota besar yang ada di berita. Masyarakat masih riang gembira bekerja di luar rumah. Ya, semoga saja pandemi corona tidak sampai di desa-desa kecil dan pelosok seperti ini, bayangkan saja siapa yang memberi makan masyarakat kalau-kalau adala larangan total keluar rumah, membayangkan sama seperti di filem-filem zombie saja sudah sangat menakutkan. hiiih..



Komentar

Postingan Populer