Abi #1
Ditulisanku sebelum-sebelumnya, kalau kalian membaca, sekali duakali atau mungkin beberapa kali aku menyebut tentang sosok lelaki hebat luar biasa kesayanganku, Abi.
Beliau adalah lelaki yang paling kusayang, orang kedua yang kusayang setelah Umik.
Abi adalah lelaki cerdas, ulet, pekerja keras, kreatif, sabar, baik dan sosok ayah yang paling ideal menurutku. Namun sesempurna dan sebaik apapun aku mendeskripsikan abiku, beliau bukanlah sosok yang sempurna. Ada beberapa sifat yang manusiawi, misalkan marah, kalau mungkin orang lain marah dengan mengekspresikan kekasaran dan kekuatannya, Abiku marahnya adalah diam, kalau dirasa keterlaluan, beliau melakukan tindakan yang menarik perhatian seluruh rumah, membuat kami tidak bergeming, kemudian beliau pergi, hanya beberapa jam saja, sampai keadaan dirasa sudah mulali mencair beliau kembali.
Abi sebenarnya tidak banyak bicara kalau tidak penting. Kalau beliau sedang banyak bicara tandanya kami, penghuni rumah memang sedang butuh nasihat, teguran dan arahan. Selain itu, Abi suka sekali menjelaskan informasi baru, menerangkan kepada anak-anaknya. Sebagai sulung, aku kenyang dijejali banyak pertanyaan dan juga dijelaskan panjang lebar mengenai suatu hal yang belum kutahu.
Sewaktu kecil, setiap mengendarai motor dengan Umik abi dan adik keduaku, aku selalu duduk depan, Di belakang Abi ada adik lalu Umik. Sambil mengendarai motor Abi selalu menunjuk apapun yang ada di jalan, menanyaiku akan banyak hal, sepanjang jalan kami kerap mengoceh akan banyak topik. Aku senang sekali momen itu. Waktu itu umurku masih hitungan jari.
"Lihat mbak, pohonnya seperti berjalan kan?" tunjuk abi di sepanjang jalan yang ditumbuhi pohon dengan jajak sejajar.
"sama seperti bulan, coba lihat ke atas, lihat bulan, bulannya seperti mengikuti kita, nah yang bergerak disana bukan bulan, tapi sepeda motor ini"
atau
"coba baca tulisan didepan toko itu"
Aku berusaha membacanya, karena sudah tertinggal di belakang karena kecepatan laju motor, aku hilang kalimat. Lalu abi menunjuk papan tulisan besar lain, meminta hal yang sama. Terus berulang sampai kami menemukan topik bahasan lain.
Cara tersebut mungkin digunakan Abi untuk melatihku membaca cepat.
Entahlah.
Yang kutahu,
Abi mendidik anak-anaknya dengan tindakan, bukan dengan ocehan panjang. Beliau lebih sering mencontohkan dengan kebiasaan beliau. Beda dengan umik yang kadang kalau kami terlampau keterlaluan, akan dicubit, sakit bukan main. Atau kalau tidak, beliau akan mengoceh panjang sekali.
Ketika beranjak dewasa, kebiasaan percakapan antara Abi dan aku waktu mengendarai motor tersebut lambat laun berkurang, lalu hilang. Aku yang sudah tidak lagi duduk depan, dan motor yang biasa kami gunakan sekeluarga sudah diganti mobil cary sederhana yang muat untuk ke 5 anggota keluarga. Setahun sebelum pindah ke pesantren, si bungsu lahir, laki-laki.
***
Semenjak tidak dirumah (baca: tinggal di pesantren) kebiasaan-kebiasaan percakapanku dengan abi berkurang, lalu tanpa terasa hilang. Bahkan seingatku, waktu pertengahan sampai akhir SMP, aku jarang sekali berbicara dengan Abi. Di jadwal kunjungan Umik Abi ke pesantren, Abi kerap sekali duduk mengobrol di pos jaga satpam, mengoceh banyak hal dengan satpam yang sedang berjaga.
Waktu itu, sekali aku pernah nyeletuk "Umik abi kesini ngunjungi aku apa pak satpam seh?"
Dan, meskipun aku protes, dan abi bergabung dengan kami di aula tempat kunjungan, kami tetap jarang saling berbicara. Hanya makan bersama dan Abi yang menanyaiku beberapa hal, bukan membahas topik tertentu.
Seingatku, percakapan mengenai topik terpanjang waktu aku di pesantren adalah waktu perjalanan pulang, ketika Abi menjemputku untuk pulang karena sudah lulus dari pesantren. abi bercerita soal kerang mutiara.
***
Dan tadi, beberapa menit yang lalu aku dan Abi baru saja membahas beberapa topik melalui video call, sekitar lebih dari 11 menit aku bercertia banyak hal, juga meminta doa akan salahsatu hajat yang akan kulakukan.
Rasanya senang sekali, seperti nostalgia masa kecil, bedanya kali ini Abi sedikit menua dan aku yang tidak lagi di tubuh anak-anak.
***
Ujaran, pertanyaan, serta komunikasi kami tentunya menggunakan bahasa jawa. Waktu kecil, aku hanya menggunakan bahasa Indonesia di sekolah, atau mendengar siaran tv nasional dan radio lokal.
Dulu waktu umik menjaga toko baju besar pink, kami selalu mendengarkan radio lokal. Meskipun terkadang berbahasa jawa, si penyiar selalu menyelipkan bahasa indonesia, karena memang aturannya begitu. Aturan atau memang kebiasaan ya?
Komentar
Posting Komentar